Thursday, May 17, 2007

Si komet tak berekor

Dahulu sekali ada seekor komet yang berlari cepat di kesunyian malam, membelah cakrawala dengan ekornya yang menyala benderang.

Di suatu kota ada gadis pemalu yang tak pernah dibiarkan keluar rumah, menatap sedih langit hitam tak berbintang.

"Ke manakah kalian pergi?" bisik si gadis sambil menelekan kepalanya di mulut jendela.
Mentari tak lagi ada, sudah lama berlalu diganti awan-awan hitam kelam pembunuh malam. Sangat menakutkan, benak si gadis. Ia pun terlelap dalam diam.

Di tempat lain si komet menari-nari dengan girang memamerkan setiap kilatan cahaya di ekornya yang benderang. Merasa bosan dan pergi mencari tempat yang tak terlalu terang. Ia berkeliling sejenak dan memutuskan untuk pergi ke sebuah kota di mana langit malamnya tak berbintang. Dengan penuh gairah ia bertanya pada rembulan di manakah tempat itu berada. Rembulan yang tampak mengantuk menggeleng pelan dan menyuruh si komet bertanya pada angin malam. Angin malam bersedia mengantarnya ke sana, si komet pun melompat kesenangan. Mereka pergi menuju sebuah kota di mana langit malamnya tak berbintang.


Sesampainya di sana si komet tertawa dan berlarian berusaha menyeruak dari balik awan-awan hitam kelam pembunuh malam. Setelah pergumulan yang melelahkan si komet berhasil membuat lubang dan berayun ringan di atas kota tempat si gadis terlelap di mulut jendela. Si gadis terbangun karena cahaya yang ditimbulkan gesekan udara pada tubuh komet yang menyerupa ekor. Si gadis terbelalak dan berteriak kencang:

"Lihat, ada seekor cecak terbang dengan ekor terbakar!"

Kaget karena diteriaki si gadis, si komet menghentikan lajunya dan seketika cahaya di ekornya pun padam. Si gadis mengusap kedua matanya dan kembali terlelap sambil bergumam, "ternyata hanya mimpi".

Si cecak tak berekor merangkak dalam diam di bawah bayang-bayang awan-awan hitam kelam pembunuh malam. Menanti datangnya pagi dengan wajah penuh lebam.

Sunday, May 6, 2007

Tikungan tajam

Mentari sedang asik bertingkah di cakrawala, tersenyum dengan gembira. Apa yang dilihatnya? Seorang bocah sedang asik berpanas-panas di atas sepeda motor, sudah cukup lama tak ada orang yang begitu bahagia bermain di bawah sengatan sinarnya. "Jangan ngebut-ngebut, nanti kamu jatuh," ujar Mentari. Tapi si bocah tak mengerti bahasa Mentari, ia hanya mengerti jika saat itu sinar hangatnya membelai kulit dengan lembut. Ia memacu sepeda motornya lebih kencang lagi, meliuk-liuk melewati mobil-mobil yang berjalan di depannya. Maklum hari itu jalanan memang sedang lengang. "Aduh anak ini nakal sekali, padahal ia tidak sedang diburu waktu jadi tidak ada alasan untuk terburu-buru," kata Mentari lagi. Mentari tidak tahu, dalam hatinya si bocah sedang diburu rasa tak nyaman yang diciptakannya sendiri. Kenapa harus buru-buru? Karena jika tidak ia harus mengubur semua mimpinya, dan mengecewakan banyak jiwa. "Tapi tidak biasanya ia seperti ini," protes Mentari. Rasa sejuk yang diakibatkan es campur beberapa waktu lalu telah lama hilang, berganti dengan degup jantung yang tiba-tiba cepat berguncang. "Hei-hei-hei, dengan kecepatan dan sudut kemiringan seperti itu persis di tikungan tajam kau akan...terjatuh!" teriak Mentari. tapi si bocah tak mengerti bahasa Mentari, andai ia tahu pasti ia akan mengindahkannya. Ketika semuanya telah terlambat si bocah sudah tergeletak di tengah jalan dengan tubuh bersimbah darah, lalu ia tersenyum lebar menatap cakrawala memamerkan gigi-gigi yang telah memerah. "Kenapa kau tersenyum?" tanya Mentari bingung. "Karena sekarang aku bisa memahami apa yang kau ucapkan," sahut si bocah. Mereka pun tertawa bersama-sama di hari yang memang seharusnya bahagia. (disadur dari http://elvischanogya.blogs.friendster.com/oldfashioned_racist_boy/)

Saturday, May 5, 2007

Derita diri di pagi hari

perutku mencaci
tiada henti
penuh benci
yang berarti

bantu aku lari
hadapi embun pagi
yang menari-nari
bawaku pergi

Sang kelana

hadapi setiap masa dengan lelah
menembus hati yang terbelah
dalam setiap langkah
tak ingin kalah