Mentari sedang asik bertingkah di cakrawala, tersenyum dengan gembira. Apa yang dilihatnya? Seorang bocah sedang asik berpanas-panas di atas sepeda motor, sudah cukup lama tak ada orang yang begitu bahagia bermain di bawah sengatan sinarnya. "Jangan ngebut-ngebut, nanti kamu jatuh," ujar Mentari. Tapi si bocah tak mengerti bahasa Mentari, ia hanya mengerti jika saat itu sinar hangatnya membelai kulit dengan lembut. Ia memacu sepeda motornya lebih kencang lagi, meliuk-liuk melewati mobil-mobil yang berjalan di depannya. Maklum hari itu jalanan memang sedang lengang. "Aduh anak ini nakal sekali, padahal ia tidak sedang diburu waktu jadi tidak ada alasan untuk terburu-buru," kata Mentari lagi. Mentari tidak tahu, dalam hatinya si bocah sedang diburu rasa tak nyaman yang diciptakannya sendiri. Kenapa harus buru-buru? Karena jika tidak ia harus mengubur semua mimpinya, dan mengecewakan banyak jiwa. "Tapi tidak biasanya ia seperti ini," protes Mentari. Rasa sejuk yang diakibatkan es campur beberapa waktu lalu telah lama hilang, berganti dengan degup jantung yang tiba-tiba cepat berguncang. "Hei-hei-hei, dengan kecepatan dan sudut kemiringan seperti itu persis di tikungan tajam kau akan...terjatuh!" teriak Mentari. tapi si bocah tak mengerti bahasa Mentari, andai ia tahu pasti ia akan mengindahkannya. Ketika semuanya telah terlambat si bocah sudah tergeletak di tengah jalan dengan tubuh bersimbah darah, lalu ia tersenyum lebar menatap cakrawala memamerkan gigi-gigi yang telah memerah. "Kenapa kau tersenyum?" tanya Mentari bingung. "Karena sekarang aku bisa memahami apa yang kau ucapkan," sahut si bocah. Mereka pun tertawa bersama-sama di hari yang memang seharusnya bahagia. (disadur dari http://elvischanogya.blogs.friendster.com/oldfashioned_racist_boy/)
Sunday, May 6, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment