Hujan tak kunjung mereda, selokan, kali, sungai dan jalan raya tak lagi bisa ku bedakan. Aku beringsut pelan ke arah pertokoan yang posisinya lebih tinggi dari jalan, agar tak hanyut terseret banjir bandang yang terkadang datang tanpa diundang. Tak banyak kendaraan yang berlalu-lalang, khususnya gerobak roda empat yang biasa disebut sedan. Semua mungkin sedang asik menanti hujan reda di rumahnya masing-masing menikmati secangkir teh hangat diseling dengan kudapan. Atau sedang sibuk pontang-panting mengungsi, mengamankan semua harta yang dimiliki dan sebisa mungkin tak lupa menyelamatkan anak-istri. Di mana pun mereka berada, semua manusia itu sama,,,baik yang membuang sampah di tempatnya, maupun yang membuangnya asal-asalan. Terlepas dari perilaku mereka semua, kota yang disebut Ibu ini memang sudah kelebihan beban. Selain sedikitnya daerah resapan akibat pembangunan gedung-gedung bertingkat yang luar biasa, jumlah kendaraan bermotor yang beroperasi di kota yang pernah bernama Batavia ini amatlah banyak, mulai dari yang beroda dua sampai yang beroda tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh.
Kruuuyuuuuuk...suara perutku membahana, agak mengagetkan karena semula kupikir suara guntur. Saat perut lapar pikiran memang suka melantur. Padahal aku hanya seekor anak kucing yang rindu menyusu hangat dari puting susu induknya. Waooong!
Tuesday, February 4, 2014
Wednesday, September 18, 2013
Dilanda mulas
mungkin orang-orang akan gemas...
melihat pipiku yang merona merah
tanpa tahu aku sebenarnya sedang dilanda mulas...
menahan gejolak dalam perut, dan mulai berkeluh-kesah
lalu dunia terasa gerah!
melihat pipiku yang merona merah
tanpa tahu aku sebenarnya sedang dilanda mulas...
menahan gejolak dalam perut, dan mulai berkeluh-kesah
lalu dunia terasa gerah!
Buku Merah Sandra
Aku punya seorang sepupu. Ia selalu memeluk erat buku merahnya.
Bukunya merah, tidak semerah darah, pun tidak semerah rona muka ayah
saat marah. Bukunya hanya merah, tidak semerah gincu yang dipakai ibu
saat hendak pergi arisan, atau gaun merah kakak saat kali pertama
menghadiri pesta dansa.
Buku merah, itu saja yang selalu didekapnya erat. Entah sudah berapa lama ia memeluk buku merah itu. Sejauh aku dapat mengingat, ia telah mendekapnya sejak 5 tahun yang lalu.
Satu hari, saat aku menemani ibu pergi arisan di rumahnya. Aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Sandra, buku merah apa sih itu yang selalu kau dekap?”
Sandra memang selalu pendiam, jadi selama 5 tahun ini aku kerap mengurungkan niatku untuk bertanya. Walau rasa penasaran selalu datang menyergap benakku kala melihat buku berwarna merah yang lain, yang tidak sedang didekap Sandra karena memang bukan miliknya.
Untuk beberapa waktu ia hanya diam. Saat aku hendak menyampaikan batinku, untuk melupakan pertanyaanku, ia menjawab:
“Ini, di dalam buku ini ada sosok Sandra yang tidak kau kenal. Mungkin dikenal beberapa kerabat yang lebih tua, tapi aku yakin kau tidak mengenalnya,” ujarnya terbata-bata.
Aku tertegun karena bingung berusaha mencerna kata-katanya.
“Sandra siapa?” batinku.
Dengan tangan bergetar ia menyodorkan dan membuka buku merah yang selalu didekapnya itu. Di halaman pertama tertulis, Sandra Angelina Putri. Lalu ia membalik halamannya. Terlihat sebuah potret gadis yang sangat cantik.
“Waw, ini kamu?” Kataku sambil memandangi foto di dalam buku itu.
“Iya…” Sahutnya.
“Ini aku, beberapa bulan sebelum aku kehilangan kedua bola mataku seperti yang kau lihat sekarang…”
“Juga sebelum aku kehilangan hidupku…”
“Ooooo..,” gumamku. “Tapi kau tetap sepupuku kan?”
Dan kulihat sandra menganggukkan kepalanya yang memperlihatkan lubang besar tempat di mana bola mata seharusnya berada.
-Tamat-
Buku merah, itu saja yang selalu didekapnya erat. Entah sudah berapa lama ia memeluk buku merah itu. Sejauh aku dapat mengingat, ia telah mendekapnya sejak 5 tahun yang lalu.
Satu hari, saat aku menemani ibu pergi arisan di rumahnya. Aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Sandra, buku merah apa sih itu yang selalu kau dekap?”
Sandra memang selalu pendiam, jadi selama 5 tahun ini aku kerap mengurungkan niatku untuk bertanya. Walau rasa penasaran selalu datang menyergap benakku kala melihat buku berwarna merah yang lain, yang tidak sedang didekap Sandra karena memang bukan miliknya.
Untuk beberapa waktu ia hanya diam. Saat aku hendak menyampaikan batinku, untuk melupakan pertanyaanku, ia menjawab:
“Ini, di dalam buku ini ada sosok Sandra yang tidak kau kenal. Mungkin dikenal beberapa kerabat yang lebih tua, tapi aku yakin kau tidak mengenalnya,” ujarnya terbata-bata.
Aku tertegun karena bingung berusaha mencerna kata-katanya.
“Sandra siapa?” batinku.
Dengan tangan bergetar ia menyodorkan dan membuka buku merah yang selalu didekapnya itu. Di halaman pertama tertulis, Sandra Angelina Putri. Lalu ia membalik halamannya. Terlihat sebuah potret gadis yang sangat cantik.
“Waw, ini kamu?” Kataku sambil memandangi foto di dalam buku itu.
“Iya…” Sahutnya.
“Ini aku, beberapa bulan sebelum aku kehilangan kedua bola mataku seperti yang kau lihat sekarang…”
“Juga sebelum aku kehilangan hidupku…”
“Ooooo..,” gumamku. “Tapi kau tetap sepupuku kan?”
Dan kulihat sandra menganggukkan kepalanya yang memperlihatkan lubang besar tempat di mana bola mata seharusnya berada.
-Tamat-
Wednesday, February 20, 2008
Imaji yang abadi
jika kau punya cukup imaji
dalam diri
tuangkanlah setiap rasa di hati
dengan sebuah puisi
pada kertas kanvas nan putih
dalam untaian nada dan harmoni
lalu bernyanyi
karena semua itu abadi
tidak seperti diri ini
yang esok mungkin kan mati
dijemput dan dibawa pergi
gabriel bukan sabatini
dalam diri
tuangkanlah setiap rasa di hati
dengan sebuah puisi
pada kertas kanvas nan putih
dalam untaian nada dan harmoni
lalu bernyanyi
karena semua itu abadi
tidak seperti diri ini
yang esok mungkin kan mati
dijemput dan dibawa pergi
gabriel bukan sabatini
Sunday, November 25, 2007
dan rembulan terdiam
lalu, ia melangkah pelan. ringan bagai tak ada beban. dengan satu pandangan syahdu ia menatapku tajam. lalu diam. hanya diam. tak mampu ucapkan sebuah kata karena jantungku yang bergetar geram. mengapa kau diam?
aku kelu, termakan waktu yang tak mau berlalu. menanti jawabanmu yang sebenarnya kutahu. dahulu, saat perbincangan ringan itu. biarlah begitu. asal biarkan cincin itu melingkar di jarimu, bukan untukku. tapi untuk kisah yang pernah berlaku.
sebuah tiara terindah di malam kala dirimu bercahaya dengan megah. sebuah halo, sebuah cincin dariku. untukmu, rembulan.
aku kelu, termakan waktu yang tak mau berlalu. menanti jawabanmu yang sebenarnya kutahu. dahulu, saat perbincangan ringan itu. biarlah begitu. asal biarkan cincin itu melingkar di jarimu, bukan untukku. tapi untuk kisah yang pernah berlaku.
sebuah tiara terindah di malam kala dirimu bercahaya dengan megah. sebuah halo, sebuah cincin dariku. untukmu, rembulan.
Thursday, November 8, 2007
Meminang Rembulan
Kala angin berhembus di kegelapan malam, mencekam dan buatku tenggelam. Aku memandang jauh ke cakrawala. Bintang-bintang menyingkir, menjauh dari cahaya kuningmu yang lembut. Membelai rambutku dengan kasih tak terganti, tulus dan tiada henti.
Pernahkah kau merasa sendiri? Di sana, seperti sepiku di sini.
Aku terpancang, menengadah ke wajahmu dengan perasaan sungguh dan penuh. Saatnya jujur pada sosok yang tak terganti, sudah waktunya mengikuti kata hati. Walau degup jantung membahana, menggedor-gedor dan buat jatuh setiap egoku. Berserakan dan bersimpuh di bawah kakimu. Luluh, seperti diri ini kala mengecupmu. Dahulu, bila kau ingat semua rasa yang kita buat, dan kuharap tak pernah berlalu.
Jawablah dengan jujur sayang, "Maukah kau menikahiku? Menjadi cerita terindah yang kan selalu temani hidupku, sampai maut memisahkan kita."
Lalu lagu itu mengalun, diiringi cahaya lilin-lilin yang kunyalakan hanya untukmu. Hari ini, yang kuharap akan segera datang.
Pernahkah kau merasa sendiri? Di sana, seperti sepiku di sini.
Aku terpancang, menengadah ke wajahmu dengan perasaan sungguh dan penuh. Saatnya jujur pada sosok yang tak terganti, sudah waktunya mengikuti kata hati. Walau degup jantung membahana, menggedor-gedor dan buat jatuh setiap egoku. Berserakan dan bersimpuh di bawah kakimu. Luluh, seperti diri ini kala mengecupmu. Dahulu, bila kau ingat semua rasa yang kita buat, dan kuharap tak pernah berlalu.
Jawablah dengan jujur sayang, "Maukah kau menikahiku? Menjadi cerita terindah yang kan selalu temani hidupku, sampai maut memisahkan kita."
Lalu lagu itu mengalun, diiringi cahaya lilin-lilin yang kunyalakan hanya untukmu. Hari ini, yang kuharap akan segera datang.
Thursday, May 17, 2007
Si komet tak berekor
Dahulu sekali ada seekor komet yang berlari cepat di kesunyian malam, membelah cakrawala dengan ekornya yang menyala benderang.
Di suatu kota ada gadis pemalu yang tak pernah dibiarkan keluar rumah, menatap sedih langit hitam tak berbintang.
"Ke manakah kalian pergi?" bisik si gadis sambil menelekan kepalanya di mulut jendela.
Mentari tak lagi ada, sudah lama berlalu diganti awan-awan hitam kelam pembunuh malam. Sangat menakutkan, benak si gadis. Ia pun terlelap dalam diam.
Di tempat lain si komet menari-nari dengan girang memamerkan setiap kilatan cahaya di ekornya yang benderang. Merasa bosan dan pergi mencari tempat yang tak terlalu terang. Ia berkeliling sejenak dan memutuskan untuk pergi ke sebuah kota di mana langit malamnya tak berbintang. Dengan penuh gairah ia bertanya pada rembulan di manakah tempat itu berada. Rembulan yang tampak mengantuk menggeleng pelan dan menyuruh si komet bertanya pada angin malam. Angin malam bersedia mengantarnya ke sana, si komet pun melompat kesenangan. Mereka pergi menuju sebuah kota di mana langit malamnya tak berbintang.
Sesampainya di sana si komet tertawa dan berlarian berusaha menyeruak dari balik awan-awan hitam kelam pembunuh malam. Setelah pergumulan yang melelahkan si komet berhasil membuat lubang dan berayun ringan di atas kota tempat si gadis terlelap di mulut jendela. Si gadis terbangun karena cahaya yang ditimbulkan gesekan udara pada tubuh komet yang menyerupa ekor. Si gadis terbelalak dan berteriak kencang:
"Lihat, ada seekor cecak terbang dengan ekor terbakar!"
Kaget karena diteriaki si gadis, si komet menghentikan lajunya dan seketika cahaya di ekornya pun padam. Si gadis mengusap kedua matanya dan kembali terlelap sambil bergumam, "ternyata hanya mimpi".
Si cecak tak berekor merangkak dalam diam di bawah bayang-bayang awan-awan hitam kelam pembunuh malam. Menanti datangnya pagi dengan wajah penuh lebam.
Di suatu kota ada gadis pemalu yang tak pernah dibiarkan keluar rumah, menatap sedih langit hitam tak berbintang.
"Ke manakah kalian pergi?" bisik si gadis sambil menelekan kepalanya di mulut jendela.
Mentari tak lagi ada, sudah lama berlalu diganti awan-awan hitam kelam pembunuh malam. Sangat menakutkan, benak si gadis. Ia pun terlelap dalam diam.
Di tempat lain si komet menari-nari dengan girang memamerkan setiap kilatan cahaya di ekornya yang benderang. Merasa bosan dan pergi mencari tempat yang tak terlalu terang. Ia berkeliling sejenak dan memutuskan untuk pergi ke sebuah kota di mana langit malamnya tak berbintang. Dengan penuh gairah ia bertanya pada rembulan di manakah tempat itu berada. Rembulan yang tampak mengantuk menggeleng pelan dan menyuruh si komet bertanya pada angin malam. Angin malam bersedia mengantarnya ke sana, si komet pun melompat kesenangan. Mereka pergi menuju sebuah kota di mana langit malamnya tak berbintang.
Sesampainya di sana si komet tertawa dan berlarian berusaha menyeruak dari balik awan-awan hitam kelam pembunuh malam. Setelah pergumulan yang melelahkan si komet berhasil membuat lubang dan berayun ringan di atas kota tempat si gadis terlelap di mulut jendela. Si gadis terbangun karena cahaya yang ditimbulkan gesekan udara pada tubuh komet yang menyerupa ekor. Si gadis terbelalak dan berteriak kencang:
"Lihat, ada seekor cecak terbang dengan ekor terbakar!"
Kaget karena diteriaki si gadis, si komet menghentikan lajunya dan seketika cahaya di ekornya pun padam. Si gadis mengusap kedua matanya dan kembali terlelap sambil bergumam, "ternyata hanya mimpi".
Si cecak tak berekor merangkak dalam diam di bawah bayang-bayang awan-awan hitam kelam pembunuh malam. Menanti datangnya pagi dengan wajah penuh lebam.
Sunday, May 6, 2007
Tikungan tajam
Mentari sedang asik bertingkah di cakrawala, tersenyum dengan gembira. Apa yang dilihatnya? Seorang bocah sedang asik berpanas-panas di atas sepeda motor, sudah cukup lama tak ada orang yang begitu bahagia bermain di bawah sengatan sinarnya. "Jangan ngebut-ngebut, nanti kamu jatuh," ujar Mentari. Tapi si bocah tak mengerti bahasa Mentari, ia hanya mengerti jika saat itu sinar hangatnya membelai kulit dengan lembut. Ia memacu sepeda motornya lebih kencang lagi, meliuk-liuk melewati mobil-mobil yang berjalan di depannya. Maklum hari itu jalanan memang sedang lengang. "Aduh anak ini nakal sekali, padahal ia tidak sedang diburu waktu jadi tidak ada alasan untuk terburu-buru," kata Mentari lagi. Mentari tidak tahu, dalam hatinya si bocah sedang diburu rasa tak nyaman yang diciptakannya sendiri. Kenapa harus buru-buru? Karena jika tidak ia harus mengubur semua mimpinya, dan mengecewakan banyak jiwa. "Tapi tidak biasanya ia seperti ini," protes Mentari. Rasa sejuk yang diakibatkan es campur beberapa waktu lalu telah lama hilang, berganti dengan degup jantung yang tiba-tiba cepat berguncang. "Hei-hei-hei, dengan kecepatan dan sudut kemiringan seperti itu persis di tikungan tajam kau akan...terjatuh!" teriak Mentari. tapi si bocah tak mengerti bahasa Mentari, andai ia tahu pasti ia akan mengindahkannya. Ketika semuanya telah terlambat si bocah sudah tergeletak di tengah jalan dengan tubuh bersimbah darah, lalu ia tersenyum lebar menatap cakrawala memamerkan gigi-gigi yang telah memerah. "Kenapa kau tersenyum?" tanya Mentari bingung. "Karena sekarang aku bisa memahami apa yang kau ucapkan," sahut si bocah. Mereka pun tertawa bersama-sama di hari yang memang seharusnya bahagia. (disadur dari http://elvischanogya.blogs.friendster.com/oldfashioned_racist_boy/)
Saturday, May 5, 2007
Derita diri di pagi hari
perutku mencaci
tiada henti
penuh benci
yang berarti
bantu aku lari
hadapi embun pagi
yang menari-nari
bawaku pergi
tiada henti
penuh benci
yang berarti
bantu aku lari
hadapi embun pagi
yang menari-nari
bawaku pergi
Sang kelana
hadapi setiap masa dengan lelah
menembus hati yang terbelah
dalam setiap langkah
tak ingin kalah
menembus hati yang terbelah
dalam setiap langkah
tak ingin kalah
Subscribe to:
Posts (Atom)